Saturday, February 19, 2011

Memoirs of a Geisha


Pertama kali aku melihat buku ’Memoirs of a Geisha' karangan Arthur Golden ini pada tahun 2002. Sedang teronggok dengan manisnya di salah satu sudut buku baru di GRAMEDIA. Melihat judul serta sampulnya yang ‘berbau kejepang-jepangan’ menggugah minatku yang pada saat itu memang sedang tergila-gila dengan segala hal yang berbau Jepang. Maklumlah, baru mulai belajar bahasa jepang dan mulai mencoba mengenal budayanya.

Omong-omong tentang perkenalan pertama kali dengan bahasa jepang adalah ketika aku masih bekerja di PT. Paramount Bed Indonesia. Waktu itu Sakamoto-sacho memiliki kebijakan agar semua karyawannya belajar bahasa jepang. Mungkin maksudnya agar tidak banyak terjadi salah komunikasi antara karyawan Indonesia dengan Staff Jepang. Maka kami diberikan kursus bahasa jepang diperusahaan setiap satu jam sekali dalam satu minggu. Membawa ketertarikanku terhadap budaya dan bahasa Jepang.

‘Memoar Seorang Geisha mengajak kita memasuki dunia geisha yang penuh rahasia, dunia di mana penampilan sangatlah penting; di mana keperawanan seorang gadis dilelang kepada penawar yang paling tinggi, di mana perempuan-perempuan dilatih untuk memikat laki-laki yang paling berkuasa; dan di mana cinta dicemooh sebagai ilusi belaka.’

Demikian salah satu penggalan resensinya di sampul belakang. Maka aku tak berpikir dua kali untuk membawa buku ini pulang, memuaskan rasa penasaranku. Bagiku buku ini adalah buku yang lengkap. Dari sisi budaya, sejarah, dan romansa percintaan semua terselip rapih di dalamnya. Aku tidak pernah belajar dan mengerti tentang sastra, jadi bagiku yang disebut buku bagus adalah ketika aku menikmati membacanya, ditulis dengan bahasa yang mudah kupahami, dan masih ada dikepalaku bahkan setelah aku selesai membacanya. Semuanya ada dalam Memoirs of a geisha. Buku ini bahkan sampai membuatku sempat harus mendapatkan suntikan vitamin dari neurolog untuk syaraf mataku akibat terlalu lelah membaca marathon.

Sebelumnya aku tidak begitu mengerti apa itu geisha. Aku hanya pernah mendengar kata-kata ‘GEISHA’ tanpa pernah tahu apa arti sebenarnya. Yang kutahu geisha adalah sebutan dalam bahasa jepang untuk ‘perempuan penghibur’. Pengertian yang salah jika mengacu pada budaya Indonesia, yang baru aku tahu setelah membaca buku ini. Arthur Golden menggambarkan seorang Geisha lebih kepada seorang seniman. Sejak kecil mereka dididik untuk bisa menari, bermain shamisen, berdandan. Bahkan dalam budaya jepang, memakai kimono dan menuang teh pun adalah seni tersendiri.

’Kisah Sayuri bermula di desa nelayan miskin pada tahun 1929, ketika sebagai anak perempuan berusia Sembilan tahun, dengan mata biru-kelabu yang luar biasa, dia dijual ke sebuah rumah geisha terkenal. Tidak tahan dengan kehidupan di rumah itu, dia mencoba melarikan diri. Tindakan itu membuat dia terancam menjadi pelayan seumur hidup. Saat meratapi nasibnya di tepi Sungai Shirakawa, dia bertemu Iwamura Ken. Di luar kebiasaan, pria terhormat ini mendekati dan menghiburnya. Saat itu Sayuri bertekad akan menjadi geisha, hanya demi mendapat kesempatan bisa bertemu lagi dengan pria itu, suatu hari nanti.’

Seperti perempuan kebanyakan, aku suka membaca novel romance. Dan Memoirs of a Geisha adalah kisah cinta. Tentang Sayuri sang geisha, dan Ketua Iwamura Ken. Mungkin itu sebabnya aku menyukai buku ini. perjalanan hidup Sayuri, perjuangannya hingga akhirnya mendapatkan cinta sejatinya, adalah kisah yang sangat menyentuhku. Bahwa betapapun jauh dan berliku, cinta akan menemukan jalannya. Bahwa cinta selalu berharga untuk diperjuangkan. Bahwa memiliki keyakinan akan cinta adalah alasan untuk kita membuka mata di pagi hari.

Hal yang sangat kusuka dari buku ini adalah gaya bahasanya yang indah, cara bertutur yang cerdas serta penokohan yang kuat. Cerita ini ditulis dari sudut pandang orang pertama sehingga pembaca bisa merasakan kedalaman perasaan Sayuri.

Bagian favoritku adalah ketika Sayuri bertemu pertama kalinya dengan Ketua Iwamura Ken. Saat Ketua menyapa Sayuri yang sedang bersedih di tepi sungai Shirakawa, “Ah, hari terlalu indah untuk begitu bersedih.” Kemudian Ketua menghiburnya, sesuatu yang tidak akan pernah dilakukan laki-laki lain terhadap pelayan muda berumur dua belas tahun. Ketua memberikan koin dan saputangan kepadanya.

“Aku melewati penjual es tadi, menjual es yang dituangi sirop. Aku baru mencicipinya setelah aku dewasa, tetapi sebagai anak-anak aku ingin mencicipinya. Ambil uang ini dan belilah satu. Ambil juga saputanganku supaya kau bisa mengelap wajahmu sesudahnya,” katanya. Diletakkannya koin itu di tengah saputangan, dibungkusnya, dan diulurkannya kepadaku.

Dan seketika itu juga Sayuri seolah mendapatkan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Bahwa ia akan rela menahan penderitaan, menjalani semua beban berat demi menjadi seorang Geisha agar kelak dapat bertemu lagi dengan Ketua.

Kupandang kepergiannya dengan perasaan sakit di hati-meskipun sakit yang menyenangkan, kalau hal semacam itu ada. Aku ingin mengatakan bahwa jika kau mengalami sore yang lebih menyenangkan daripada yang pernah kau alami seumur hidupmu, kau akan sedih jika ini berakhir, tetapi kau toh masih bersyukur ini telah terjadi.

Juga tentu saja bagian ketika pada akhirnya Sayuri dan Ketua bersatu. Ya, sang pengarang memang berbaik hati untuk membiarkan cerita ini berakhir bahagia. Sayuri sedang menunggu dalam kesengsaraan, mengira impiannya akan terenggut. Menunggu Nobu Toshikazu di rumah minum teh Ichiriki untuk menjadi Danna-nya. Namun ternyata Ketua yang datang menemuinya untuk menjelaskan ketidak hadiran Nobu, dan untuk menyatakan cintanya.

... Saat itu aku sudah mengambil saputangan Ketua dari dalam obi-ku, dan sekarang, tanpa kata, kubeberkan saputangan itu di atas meja, dan kulicinkan, sehingga monogramnya terlihat jelas. Setelah lewat bertahun-tahun, salah satu sudut saputangan itu telah bernoda dan linennya telah menguning; tetapi Ketua rupanya langsung mengenalinya. Kata-katanya langsung terhenti, dan dia meraih saputangan itu.

“Dari mana kaudapatkan ini?”

Dan inilah kutipan terkenal tentang pernyataan cinta Sayuri kepada Ketua :

“Can’t you see? Every step I have taken, since I was that child on the bridge, has been to bring myself closer to you.”                                                                  


                                                                    * * *


Note : Gambar diambil dari
sini

0 komentar: