Tuesday, May 24, 2011

Bapak Kami

Beliau bernama Fathullah, dengan titel H. didepan, dan S.E. dibelakang namanya. Beliau sangat sensitif mengenai penulisan nama, maka jangan pernah sekali-sekali salah menuliskan namanya. Bukan masalah penulisan titel, tetapi orang terkadang lupa menyelipkan huruf H ditengah, sehingga sering hanya menjadi Fatullah. “Nama gua itu Fathullah, pake H, bukan Fatullah. Fathullah itu artinya kemenangan Allah, kalau Fatullah berarti Allah mati, dosa luh..” itu yang selalu diucapkannya kalau ada yang salah menulis namanya.

Beliau mulai menjadi bagian dari keluarga Lithium pada tahun 2004, setelah sebelumnya bertugas di divisi manganese. *Panasonic Gobel Energy Indonesia tempatku bekerja memiliki tiga divisi : Manganese, Torchlight, dan Lithium*.

Beliau dikenal sebagai pribadi yang hangat dan menyenangkan, penuh dengan canda. Walaupun dikarenakan tugasnya sebagai manager, dalam keseharian di tempat kerja ada saja hal yang membuat kami berseberangan. Aku dan teman-temanku seringkali dianggap ‘nakal’ sementara bagi kami, beliau sering menegur untuk hal-hal yang kadang kami anggap tidak penting. Tapi bagaimanapun, beliau adalah bapak, tempat kami bisa mengadu, mengungkapkan segala keluh kesah kami.

Tapi kini, bapak kami telah tiada. Kanker pankreas jahat telah membawa beliau begitu cepat, meninggalkan istri dan keempat putrinya, meninggalkan kami anak-anaknya ditempat kerja. Kembali dari libur panjang lebaran, adalah awal kami menyadari kalau beliau sedang sakit. Berat badannya yang turun drastis menjadi indikasinya. “Bapak koq kurus amat sih sekarang? Bapak sakit?” suatu kali aku pernah menanyakan hal ini pada beliau. Beliau menjawab, kalau beliau memang sedang sakit, terkena diabetes, dan berat badannya memang turun sampai belasan kilo. Aku teringat ibuku yang juga mengidap diabetes dan berat badannya memang turun drastis.

Pengalaman memiliki ibu yang juga pengidap diabetes membuatku paham kalau penyakit itu adalah penyakit yang akan terus melekat pada si penderita sampai akhir hayatnya. Pengobatan terhadap pasien hanya akan menjaga kondisinya tanpa pernah benar-benar menyembuhkan si penyakit itu sendiri.

Tapi beliau juga sering mengeluh sakit pada ulu hatinya yang diduganya disebabkan oleh Maag. Sakit pada ulu hati yang tidak kunjung membaik inilah yang akhirnya membuat beliau harus melakukan endoscopy. Yang akhirnya, menegaskan bahwa beliau telah terkena kanker pankreas stadium 4. Ternyata, tinggi kadar gula dalam darahnya bukan disebabkan oleh diabetes. Melainkan karena pankreasnya tidak bisa lagi menghasilkan insulin. Aku tidak mengerti tentang kedokteran, tentang bagaimana penyakit itu bisa menghinggapi beliau. Tapi beliau memang bukan termasuk contoh gaya hidup sehat. Semua tahu kalau beliau sangat suka merokok, dan minum kopi. Entah ini ada hubungannya atau tidak.

Berbulan-bulan beliau berjuang, kadang kondisinya membaik, kadang memburuk. Kadang dalam seminggu hanya beberapa hari saja beliau masuk kerja. Tak pernah ada lagi ‘omelan’, hanya permintaan maaf dan ocehan tentang umurnya yang tinggal sebentar lagi yang sering terdengar dari mulut beliau, yang biasanya tidak pernah kami tanggapi. Atau lebih tepatnya tidak ingin kami tanggapi.

Sebulan terakhir beliau sudah tidak bisa lagi masuk kerja, karena kondisinya yang terus menurun. Terakhir kami menjenguk ketika beliau masih dirawat dirumah bahkan aku sudah hampir tidak bisa mengenali bahwa beliau adalah orang yang sama seperti dalam ingatanku. Sehat, bugar, berbadan gemuk. Kanker itu telah mengambil begitu banyak dari beliau, hampir tidak ada yang tertinggal, kecuali candanya yang kadang-kadang masih terdengar. 

Tidak sampai seminggu setelahnya, ketika kami mendengar beliau dibawa ke rumah sakit dikarenakan kondisinya yang terus memburuk. Saat itulah kami sudah tidak bisa lagi menahan tangis. Melihat bapak kami terbaring lemah, bernafas dengan bantuan oksigen, tidak bisa lagi diajak berkomunikasi dengan baik. Bahkan istri beliau yang selama ini selalu terlihat tegar, kali ini sudah tidak bisa menahan air matanya.

Aku sempat kembali menjenguk di rumah sakit tiga hari kemudian bersama teman-temanku yang sudah tidak lagi bekerja di Panasonic. Beliau sedang tertidur ketika kami datang. Kondisinya terlihat lebih tenang, dan bisa diajak berbicara walaupun dengan suara yang masih pelan. Beliau bahkan bisa memperkenalkan satu persatu temanku kepada istrinya. Keadaan yang kembali menyulut harapanku. Harapan semua orang akan kesembuhannya. Harapan yang ku sampaikan pada beliau ketika berpamitan pulang. Sambil mencium tangannya kukatakan “Pak, saya pamit dulu, bapak sembuh ya…”. Tapi beliau tidak menjawab selain anggukan kecil, dan tatapan yang lama padaku. Tatapan yang sampai sekarang masih terus terlintas dalam ingatanku.

Ternyata Allah menghendaki itulah pertemuan terakhirku dengan beliau. Itulah komunikasi terakhir kami. Tatapan itu adalah tatapan terakhir yang ku terima. Tanggal 31 Maret 2011, sekitar jam delapan malam, kami mendapat kabar kalau beliau telah menghembuskan nafas terakhir beberapa menit yang lalu. Bersyukur aku masih berada di kantor ketika Pak Sofyan menerima telepon dari istri beliau, sehingga bisa ikut langsung ke rumah beliau bersama yang lain untuk Ta’ziyah. Jenazah beliau baru tiba dirumah hampir tengah malam. Rasanya malam terpanjang yang pernah ku lewati dalam kedukaan. Ketika kain penutup wajahnya dibuka, memperlihatkan sosoknya yang telah membeku, aku hanya merasakan kehampaan.

Kesedihan itu baru kembali terasa keesokan harinya ketika beliau dimakamkan. Menyadari ini adalah benar-benar saat terakhir, tangisku kembali pecah. Isak tangis dan do’a mengiringi beliau menuju peristirahatan terakhir. Kerabat memberikan kesaksian tentang saat terakhir beliau masih mengingat sopirnya yang belum digaji, tentang bagaimana Masjid setelah nanti ditinggalkan, tentang siapa yang akan menjadi wali keempat putrinya nanti. Betapa kehilangan itu terasa sangat menyedihkan, tetapi aku tetap bersyukur bahwa beliau pergi dalam keadaan Husnul Khotimah, Amiin…

Kini, hampir dua bulan berlalu, tetapi rasa kehilangan itu masih saja tetap ada. Kesedihan itu masih tetap tersisa. Kadang di pagi hari ketika baru sampai dikantor, aku membayangkan beliau membuka pintu, setelah sakit berhari-hari, mengucapkan salam dengan lantang sambil tersenyum. Lalu aku akan menanyakan kabarnya yang pasti akan dijawab ‘Alhamdulillah…’

Bapak, semoga Allah mengampuni dosa-dosa bapak, semoga amal ibadah bapak mendapat ganjaran pahala, semoga Allah menempatkan bapak di tempat terbaik di sisi-Nya, Amiin..

‘Kullu nafsin dzaa-iqatul maut’ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.

0 komentar: